Pages

Saturday 15 January 2011

Udah-udah la tu membohongnya...

Udah-udah le tu membohongnya... akhirnya terbongkar juga rahsia... keme bukan bodoh tak reti sejarah... udah-udah le tu... menegakkan benang yang basah kelak kamu akan dicerca... jangan sampai orang sebut "tak ku sangka, rupanya cucu (sipolan) macam ini perangainya... udah-udah le tu... bertaubat lah dan kembali kepangkal jalan...





Setelah perang padri di minangkabau terjadi perundingan antara kaum adat dan ulama pada tahun
1834 yang dikenal dengan Perdamaian Marapalam yang membuahkan istilah ABS-SBK ( Adat Basandi Sarak - Sarak Basandi Kitabullah). Sedangkan menurut sejarah Tuanku Nan Renceh tidak hadir di sana karena wafat pada tahun 1826. Disini sudah jelas ada pembohongan publik yang di sengaja..

Kerajaan majapahit berjaya pada masa 1293 M - 1500 M.. sedangkan yang ditulis oleh Mohd Sharif Hidayatullah bin Sahperi beliau lahir pada tahun 1662.
Kita bisa melihat secara logika tahun lahir dan wafat. Mungkinkah Tuanku Nan Renceh berumur lebih dari 200 Tahun????


TNR dikenal sebagai Panglima Perang Padri yang militan dan ditakuti pada masanya. Dan menurut sejarah lain Tuanku Nan Renceh berasal dari Kamang, Luhak Agam. Kurang jelas kapan persisnya ia dilahirkan, tapi pasti dalam paruh kedua tahun 1870-an. Tak ada catatan historis mengenai masa mudanya. Namun, sedikit banyak dapat direkonstruksi melalui satu sumber pribumi, yaitu Surat Keterangan Syekh Jalaluddin (SKSJ) karangan Fakih Saghir, salah seorang ulama Paderi dari golongan moderat

http://ulama-minang.blogspot.com/2010/01/tuanku-nan-renceh-dalam-surat.html

Fakih Saghir menyebutkan bahwa Tuanku Nan Renceh “kecil tubuhnya” (Kratz & Amir: 24), yang memang bersesuaian dengan namanya (kata Minang renceh berarti kecil, lincah, dan bersemangat). H.A. Steijn Parvé dalam “De secte der Padaries in de Padangsche Bovenlanden” (Indisch Magazijn [selanjutnya IM]1, 1e Twaalftal, No.4:21-40) menyebutkan bahwa Tuanku Nan Renceh bertubuh kecil, kurus, bertabiat bringasan, dan memiliki sinar mata yang berapi-api—cerminan dari sifat radikal dan keras hatinya. Pakaiannya mungkin seperti pakaian kebanyakan pengikut Paderi, seperti yang dideskripsikan oleh P.J. Veth dalam “De Geschiedenis van Sumatra,” (De Gids 10e Jrg., Januarij: 1850, hal. 21), Thomas Stamford Raffles dalam Memoir of of the Life and the Public Services of Sir Thomas Stamford Raffles editan Lady Sofia Raffles (Singapore: Oxford University Press, 1991 [reprinted ed.]: 349-50), atau sketsa visual oleh [E.] Francis dalam “Korte Beschrijving van het Nederlandsch Grondgebied ter Westkust Sumatra 1837” (Tijdschrift voor Nederlandsch-Indië [selanjutnya TNI] 2-1, 1839: 28-45, 90-111, 131-154, hal. [141]): rambut dicukur, jenggot dipanjangkan, tasbih dan pedang selalu jadi ‘pakaian’, sorban dan jubah panjang hingga bawah lutut berwarna putih, membawa Al-Quran yang ditaruh dalam kantong merah yang digatungkan di leher (ini hanya khusus buat ulama/panglima Paderi) (lihat ilustrasi).

Tak ada riwayat apapun tentang keluarga Tuanku Nan Renceh. Nama kecilnya juga tidak diketahui. Hanya ada sedikit kisah tragis bahwa ia memulai jihadnya dengan cara sadis: ia menyuruh bunuh bibinya sendiri—menurut Mangaraja Onggang Parlindungan (op cit.:134) ibu Tuanku Nan Renceh sendiri yang bergelar “orang kaya” (urang kayo)—yang tidak mau mengikuti perintahnya berhenti makan sirih, yang dianggap kebiasaan yang tidak sesuai dengan Islam. Mayatnya tidak dikuburkan tapi dibuang ke hutan karena dianggap kafir (lihat: Muhamad Radjab, Perang Paderi di Sumatera Barat (1803-1838), Djakarta: Perpustakaan Perguruan Kementerian P.P. dan K., 1954:18-19; Christine Dobbin, Kebangkitan Islam dan Ekonomi Petani yang Sedang Berubah: Sumatra Tengah 1784-1847, terj. Lilian D. Tedjasudhana. Jakarta INIS, 1992: 158). Dengan begitu, Tuanku Nan Renceh cepat mendapat pengikut dari mereka yang berjiwa militan.

Naskah SKSJ mencatat bahwa akhirnya Tuanku Nan Renceh memusuhi Tuanku Nan Tuo yang tetap memegang sikap moderat dalam memperjuangan cita-cita Gerakan Paderi. Tuanku Nan Tuo mengecam cara-cara di luar peri kemanusiaan yang dilakukan oleh Tuanku Nan Renceh dan pengikutnya terhadap penduduk nagari-nagari yang mereka taklukkan. Tuanku Nan Renceh menghina ulama kharismatik yang dituakan di darek itu dengan menyebutnya sebagai “rahib tua” dan Fakih Saghir, sahabat dan bekas teman seperguruannya, digelarinya “Raja Kafir” dan “Raja Yazid” (Kratz & Amir: 41).

Perpecahan di kalangan pemimpin Paderi tak terelakkan: Tuanku Nan Renceh membentuk kelompok sendiri yang terkenal dengan sebutan “Harimau Nan Salapan” yang militan, yaitu Tuanku di Kubu Sanang, Tuanku di Ladang Lawas, Tuanku di Padang Luar, Tuanku di Galuang, Tuanku di Kota Hambalau, Tuanku di Lubuk Aur, Tuanku di Bansa dan Tuanku Nan Renceh sendiri (Kratz & Amir: 39). Mereka memisahkan diri dari Tuanku Nan Tuo dan mencari patron (imam besar) yang baru, yaitu Tuanku di Mansiang. Tuanku Nan Renceh dan pengikutnya pun beberapa kali berusaha membunuh Tuanku Nan Tuo. Ia menganggap mantan gurunya itu menghalang-halangi tujuannya dan terus-menerus mengeritik jalan radikal yang ditempuhnya bersama pengikutnya. Namun, seperti diceritakan Fakih Saghir dalam SKSJ, upaya pembunuhan itu gagal.

Seperti diuraikan oleh seorang penulis berinisial v.D.H. dalam artikelnya “Oorsprong der Padaries (Eene secte op de Westkust van Sumatra)” (TNI 1.I, 1838: 113-132), Tuanku Nan Renceh dan pengikutnya yang militan kemudian menjadi lebih terkenal, meredupkan pamor kelompok moderat (Tuanku Nan Tuo dan pengikutnya). Dalam tahun 1820-an, pengikut golongan radikal itu makin banyak di Luhak Nan Tigo. Mereka mewajibkan kaum lelaki memelihara jenggot, yang mencukurnya didenda 2 suku [1 suku = 0,5 Gulden); memotong gigi didenda seekor kerbau; lutut terbuka didenda 2 suku; wanita yang tidak pakai burka didenda 3 suku; memukul anak didenda 2 suku; menjual/mengkonsumsi tembakau didenda 5 suku; memanjangkan kuku, jari dipotong; merentekan uang didenda 5 shilling; meninggalkan shalat pertama kali didenda 5 suku, jika mengulanginya dihukum mati (lihat: B.d., “De Padries op Sumatra”, IM 2e Twaalftal, No. 5&6, 1845 [1827]:167-180, hal.172).

Tuanku Nan Renceh dan pengikutnya menjadi momok besar bagi masyarakat Minang waktu itu, khususnya Kaum Adat. Semakin meluasnya pengaruh faksi radikal Kaum Paderi yang dibidani oleh Tuanku Nan Renceh telah mendorong Kaum Adat minta bantuan kepada Belanda. Pada 21 Februari 1821 mereka resmi menyerahkan wilayah darek kepada Kompeni dalam perjanjian yang ditandatangani di Padang, sebagai kompensasi kepada Belanda yang bersedia membantu melawan kaum Paderi. Ikut “mengundang” sisa keluarga Dinasti Pagaruyung di bawah pimpinan Sultan Muningsyah yang selamat dari pembunuhan oleh pasukan Paderi yang dipimpin Tuanku Pasaman di Koto Tangah, dekat Batu Sangkar, pada 1815.

3 comments:

  1. Assalamu alaikum Zulq. Sila berhubung dengan saya melalui kotak komen ini. Terima kasih.

    ReplyDelete
  2. Salam Dr.

    Saya merupakan salah seorang jurulatih Silat Lintau dari Johor. Ada perkara yang mungkin kita boleh berkongsi. Rasanya lebih baik melalui PM. Itupun jika dr sudi untuk menyambungkan silaturrahim. wallahualam.

    ReplyDelete
  3. Ok Zul... saya dah add anda ke gmail saya.

    ReplyDelete