Gambar makam yang kita lihat disebelah kiri ini berada di kampung Padang Lowe di dalam kenagarian Tepi Selo, Kecamatan Lintau Buo Utara, Kabupaten Tanah Datar. Masyarakat setempat mengenalnya sebagai makam Ongku Kiramat. Saat PRRI berkecamuk di Minangkabau, salah seorang komandan pasukan APRI menemukan makam ini dan juga sebilah keris masih terhujam di atas makam. Sang Komandan APRI mencari tahu siapa yang dimakamkan di Padang Lowe ini, namun tidak banyak mendapatkan informasi banyak selain banyak keterangan yang ia dapatkan di Buo. Sang Komandan APRI kemudian memutuskan untuk menyelamatkan makam ini lengkap dengan bangunan atap bergonjong yang dibangun di atas makam Ongku Kiramat. Nah, saat sekarang inilah foto makam Ongku Kiramat yang belum lama diambil tetapi kita sudah tidak menemukan lagi keris yang terhujam tersebut. Mungkin sudah diselamatkan Sang Komandan APRI saat itu. Jujur saja kita patut berterima kasih kepada Sang Komandan APRI yang masih mau menyelamatkan keberadaan makam ini. Tetapi siapakah Ongku Kiramat ini?
Kira-kira tiga tahun sebelum sebelum Lintau ditaklukan oleh de Quay dan Veltman, terlihat dari kejauhan seseorang dengan pakaian putih-putih ala paderi sedang memacu kudanya menuju Buo. Utusan itu datang dengan sangat tergesa-gesa seperti ada kabar yang sangat penting yang akan disampaikan. Sepanjang perjalanan ia meneriakkan sesuatu sehingga menarik perhatian banyak orang. Tepat di halaman istana Rajo Adat di Buo, sang utusan langsung turun dari kudanya dan duduk di depan tangga istana sambil menjunjungkan kedua belah tangan ke atas kepalanya. Rupanya kedatangan sang utusan ini adalah untuk mengabarkan kepada keluarga Rajo Adat di Buo, bahwa Tuanku Keramat telah wafat karena usia lanjut.
Sudahlah menjadi adat bagi masyarakat Lintau, jika ada seseorang meninggal dunia maka bako (pihak keluarga dari sebelah ayah) adalah orang yang paling ditunggu kaum kerabatnya untuk memulai penyelenggaraan jenazah oleh kaumnya. Tradisi itu masih berlanjut sampai sekarang di mana pihak bako akan diberikan kehormatan untuk turut serta dalam upacara memandikan jenazah. Dalam aturan adat telah ditetapkan jika bahagian kepala jenazah merupakan hak bako dalam upacara memandikan jenazah. Untuk meyelenggarakan upacara fardhu kifayah ini, pihak bako wajib untuk membawa sehelai kain kafan lengkap dengan pernak-perniknya yang disebut limau kasai, semacam perlengkapan adat untuk penyelenggaraan memandikan jenazah.
Arak-arakan pembawa limau kasai tampak panjang sekali, payung Panji Alam pun juga diturunkan untuk memayungi dulang limau kasai. Tak kurang dari tiga belas dulang dijunjung oleh para ibu di mana masing-masing mereka dipayungi oleh payung mursyid dan payung bakondai. Masing-masing dulang ditutupi oleh kain dulamak yang penuh dengan hiasan benang emas dan tampak agung di atas kepala para ibu tersebut. Tampaknya iring-iringan para pembawa limau kasai ini bukan untuk sembarang orang. Pasti seorang bangsawan tinggi telah wafat sehingga begitu banyak alat-alat kebesaran kebesaran Rajo Adat di Buo harus diturunkan mengawal para ibu pembawa limau kasai ini.
Adalah sejarah lisan yang disampaikan oleh almarhum Haji Sabran Pahlawan Garang, salah seorang pewaris Kerajaan Adat di Buo yang menyatakan jika Tuanku Keramat adalah salah seorang putera dari Nan Dipertuan Hela Perhimpunan Sultan Seri Maharaja Diraja, Rajo Adat di Buo dengan seorang wanita dari Tigo Tumpuek di Talawi, tetapi ada juga keterangan lain menyebutkan bahwa ibunya berasal dari Tanjung Barulak. Nama kecil Tuanku Keramat ini adalah Sutan Saleh, lebih sering dipanggil dengan nama Ampu Tuan Saleh dalam keluarganya (Nan Dipertuan Saleh). Sejak masa remajanya Tuanku Keramat adalah seorang yang wara’ dan taat beribadat. Hidupnya bersih dan betul-betul mengamalkan ajaran Islam dengan sebaik-baiknya. Ia tidak terpengaruh dengan gaya hidup segelintir anak muda Minangkabau yang senang mengadu ayam atau menghisap madat, yang terakhir diketahui sebagai budaya Cina yang masuk ke dalam kehidupan anak nagari.
Tidak ada keterangan tertulis yang menjelaskan siapa keturunan Tuanku Keramat. Dari beberapa keterangan lisan disampaikan bahwa anak cucu Tuanku Keramat masih ada di Tigo Tumpuek, Talawi. Pada tahun 1990, kami berkesempatan untuk bertemu dengan Bapak Sambran dan Bapak Sambiran, dua orang kakak beradik yang mengaku keturunan Tuanku Keramat yang masih anak cucu Sutan Jamil dari Buo. Namun adalah sangat mengherankan jika kemudian makam Tuanku Keramat tidak berada di Talawi, tetapi malah di Padang Lowe dalam wilayah Nagari Tepi Selo, Kecamatan Lintau Buo Utara. Apakah ini berarti jika Saidi Muning salah seorang Imam Paderi yang terkenal dengan gelar Tuanku Lintau, juga merupakan salah satu keturunannya? Ada sedikit kemiripan kisah perjalanan hidup Tuanku Keramat ini dengan ayah Tuanku Lintau sendiri, di mana keduanya dikenal sebagai pedagang gambir di wilayah Lintau dan sekitarnya.
Walaupun Tuanku Keramat adalah anak Rajo Adat di Buo, ia sadar bahwa dirinya tidak berhak untuk menjadi pewaris tahta Raja Adat di Buo menurut adat saat itu. Tuanku Keramat kemudian lebih dikenal sebagai ulama besar dan pedagang gambir yang sukses di wilayah Lintau, Koto Tujueh, Sumpur Kudus sampai ke Kuantan Singingi. Karirnya sebagai konglomerat gambir banyak didukung oleh statusnya sebagai putra Raja Adat di Buo. Banyak kemudahan dalam berdagang didapatkannya, akses yang luas terhadap wilayah-wilayah rantau Raja Adat sudah pasti di dalam genggamannya. Ia mungkin banyak berkenalan dengan para pedagang asing dari Eropa, India, Cina dan juga orang Arab yang kemudian banyak membantunya dalam pengadaan senjata dalam perang paderi di Lintau. Salah satu pemegang tender pengadaan senjata yang ditunjuk oleh Tuanku Keramat dicatat Belanda bernama Said Salim Al-Jufri, seorang pedagang Arab yang cukup terkenal di Batavia dan
Dugaan nama kampung Pamosian yang berada tidak jauh dari Tepi Selo, konon kabarnya berasal dari kata per-Mesir-an, yang berarti tempat orang-orang Mesir. Cukup beralasan memang karena saat itu sudah banyak rakyat Minangkabau yang menjalin hubungan dengan orang-orang timur tengah. Kata Mesir jika dilafalkan dengan logat Lintau asli akan dibaca Mosi-e. Oleh sebab itu dapat disimpulkan jika kampung Pamosian sebagai tempat berkumpulnya orang-orang Arab dari Mesir yang banyak terlibat dalam perdagangan senjata yang ditukar dengan hasil bumi seperti kopi, lada, cengkeh dan gambir. Komoditi yang disebutkan tadi merupakan barang dagangan yang mendorong Belanda mau turut campur dalam urusan Kerajaan Minangkabau setelah tragedy berdarah di Koto Tangah pada tahun 1809, bahkan dengan senang hati Belanda bersama-sama pasukan bayarannya menggempur Lintau sejak tahun 1821.
Dalam masa itu boleh dikatakan banyak para Tuanku, anak raja bahkan ulama yang terlibat sebagai pedagang atau yang menguasai jalur pedagangan dari Minangkabau melalui daerah-daerah pantai timur Sumatera. Daerah-daerah yang merupakan alur lalu-lalang perdagangan tentunya akan menjadi daerah yang maju dan penting sehingga tidak jarang menjadi rebutan para elit dan penguasa yang juga ingin mengambil peran. Keterlibatan Tuanku Keramat di dalam perang paderi tidak bisa kita abaikan begitu saja. Di samping sebagai pedagang gambir yang sukses, Tuanku Kiramat juga sangat berkilau bintangnya dalam bidang militer di kalangan kaum paderi di Lintau dan Talawi. Mungkin itu sebabnya wajar Sang Komandan APRI yang disebutkan sebelumnya, segera menyelamatkan keberadaan makan Tuanku Kiramat sebagai wujud penghormatan sesama loyalis militer.
Dalam salah satu perundingan antara Belanda dengan pihak paderi jelas dicatat oleh Mayor Jenderal de Stuers jika Tuanku Keramat yang sudah tua datang ke Padang untuk mewakili Saidi Muning Tuanku Lintau untuk berunding dengan didampingi oleh Tuanku Saleh dari Talawi dan Tuanku Bawah Tabieng mewakili Tuanku di Guguek Lima Puluh Kota (EB Kielstra, Sumatera Westkust, 1819-1825). Dapat kita bayangkan betapa tinggi semangat juang Tuanku Keramat ini, datang sebagai ulama paderi yang sudah tua, tidak gentar untuk ditipu atau ditangkap, maju ke meja perundingan atas nama rakyat, tidak hanya Lintau tetapi juga Talawi dan Agam. Beliau harus berhadapan dengan Mayor Jenderal Hubert Joseph Jean Lambert de Stuers, seorang jenderal perang yang sudah berpengalaman di Eropa, lengkap dengan akal bulus dan tipu dayanya. Sejarah mencatat jika perundingan tersebut diselenggarakan di Ujung Karang pada tanggal 29 Oktober 1825 yang kemudian melahirkan perjanjian damai antara Belanda dengan kaum paderi yang ditandatangani di Padang pada tanggal 15 Nopember 1825 yang diiringi dengan bunyi dentuman meriam sebagai penghormatan bagi kedua belah pihak yang menandatangani perjanjian damai tersebut.
Dalam buku Sejarah Nasional Jilid II karya Prof. Nugroho Susanto (1992) disebutkan isi perjanjian antara de Stuers dan Tuanku Keramat sebagai berikut:
1. Belanda mengakui wilayah kekuasan para tuanku-tuanku di Lintau, Talawi dan Agam.
2. Kedua belah pihak akan melindungi orang-orang yang sedang dalam perjalanan dan para pedagang.
3. Kedua belah pihak akan melindungi orang-orang yang kembali dari pengungsian.
1. Belanda mengakui wilayah kekuasan para tuanku-tuanku di Lintau, Talawi dan Agam.
2. Kedua belah pihak akan melindungi orang-orang yang sedang dalam perjalanan dan para pedagang.
3. Kedua belah pihak akan melindungi orang-orang yang kembali dari pengungsian.
Apapun yang telah disepakati di dalam perjanjian damai tersebut, jelas jika Belanda menginginkan adanya gencatan senjata di mana sejarah mencatat bahwa perjanjian tersebut merupakan siasat Belanda untuk memusatkan perhatiannya di Jawa yang baru saja diamuk oleh Perang Jawa atau terkenal dengan nama Perang Diponegoro pada tahun 1825 – 1830. Setelah perjanjian damai tersebut dapat dikatakan jika wilayah Lintau atau Minangkabau dalam keadaan aman terkendali. Sebagian para tuanku dan imam paderi kembali menjalini hidup normalnya, namun tidak termasuk Tuanku Keramat yang tetap waspada dan secara intensif menggalang dukungan dari wilayah-wilayah rantau Kerajaan Adat, termasuk ke Negeri Sembilan yang baru saja mengalami suksesi kepemimpinan dari Yamtuan Lenggang kepada putera tertuanya Yamtuan Radin pada tahun 1824.
Membaca isi perjanjian damai tersebut jelas Tuanku Keramat tidak ingin mengganggu kedudukan Belanda di Padang. Justeru Belandalah yang mengganggu bisnis gambirnya dan juga perdagangan rakyat Minangkabau yang mengekspor hasil bumi melalui jalur perdagangan wilayah timur. Menuju Siak dan Penang merupakan tujuan akhir para pedagang Minangkabau yang sudah berlangsung ratusan tahun yang lalu bahkan sejak jaman Majapahit. Lalu tiba-tiba datang si bule dari Belanda yang merasa berhak mengatur perdagangan rakyat, wajar saja mendapatkan perlawanan hebat dari rakyat Lintau. “Sorry-sorry aja, Bung” gumam Tuanku Keramat dalam hati. Inggris di Penang masih menggunakan sopan santun dengan mengirim utusan Portugisnya, Thomaz Diaz pada tahun 1684 datang menyembah kepada Rajo Adat di Buo agar diijinkan berdagang dengan rakyat Minangkabau di Siak dan Palalawan, Kampar Kiri (http://id.wikipedia.org/wiki/Rajo_Tigo_Selo).
Perlawanan terhadap Belanda yang dilakukan oleh Tuanku Keramat sebelum perjanjian damai itu juga tidak kalah hebatnya. De Stuers juga mencatat jika bagaimana perlawanan rakyat Talawi yang dilakukan oleh Tuanku Keramat cukup mengacaukan barisan Belanda yang dipimpin oleh Kolonel Raff yang didatangkan khusus untuk menggempur Lintau lewat Atar. Belum lagi bagaimana Belanda harus kehilangan banyak meriam dan pasukannya dalam pertempuran yang melibatkan ribuan rakyat Minangkabau yang dipimpin oleh masing-masing tuankunya untuk mempertahankan Lintau, yang di dalam adat disebutkan sebagai wilayah Rajo Adat di Buo.
Melihat kenyataan ini adalah sesuatu yang mustahil bagi kita untuk percaya kepada pernyataan Belanda yang menyatakan bahwa alasan meletusnya perang paderi hanya karena hal sepele. Sering kita baca dalam banyak buku sejarah disebutkan jika pemicu perang paderi karena adanya pertentangan antara kaum adat dan kaum agama. Pertanyaannya kita adalah “kaum adat yang mana?” Tuanku Keramat yang kita uraikan panjang lebar di sini adalah putera seorang Raja Adat di Buo. Nan Dipertuan Sembahyang yang ditulis Belanda bangkit setelah Lintau ditaklukan adalah seorang Rajo Adat di Buo. Lalu atas dasar apa kita masih mempertahankan pernyataan Belanda tentang sebab-sebab terjadinya perang paderi?
Dalam catatan de Stuers yang direkam oleh EB Kielstra disebutkan jika pada tanggal 9 April 1826, de Stuers menerima sepucuk surat yang ditandatangani oleh Tuanku Lintau, Tuanku di Guguek, Tuanku Nan Renceh dan Tuanku Keramat yang isinya menuntut Belanda agar menurunkan Sultan Alam Bagagarsyah sebagai Regent Tanah Datar dan menggantikannya dengan Said Salim Al-Jufri dan point yang kedua adalah menuntut agar perijinan atas gelanggang sabung ayam yang selama ini diberikan segera dihapuskan. Ingat bahwa Belanda masih dalam kondisi lemah dan sedang berkonsentrasi terhadap Perang Diponegoro, maka dengan serta merta de Stuers mencabut dan melarang segala bentuk perijinan judi sabung ayam. Tindakan de Stuers ini dengan segera menuai protes yang keras yang diajukan oleh Datuk Pamuncak dari Batipuh sebagaimana termaktub dalam suratnya tanggal 17 Mei 1826, yang isinya sebagai berikut:
”Uw vroeger gegeven bevel ten aanzien van het hanenvechten werd door ons opgevolgd; wij vroegen naar aanleiding daarvan vergunning aan den civielen commandant van Semawang om het hanenvechten te mogen plegen, betalende vier ropijen daags. Nu is ons weder van Uwentwege aangekondigd dat het hanenvechten ten eenemale verboden is en er geene vergunning meer mag worden gevraagd om ons daarmede te vermaken.
“Anda sebelumnya telah memberikan ijin untuk mengadakan gelanggang sabung ayam, kami telah mendapatkan persetujuan dari Komandan Sipil di Simawang, untuk persetujuan tersebut kami membayar 4 rupiah sehari dan sekarang Anda benar-benar telah melarang para lelaki untuk menghibur diri dengan melakukan sabung ayam
”Het hanenvechten is sedert overoude tijden eene blijvende gewoonte der voorouderen van onze voorouderen geweest, en mitsdien hebben wij met genoegen het geld betaald dat daarop gesteld was, om die oude gewoonte niet voor ons te doen verloren gaan. Nu Mijnheer het hanenvechten ten eenemale heeft doen ophouden, wordt zulks aangemerkt als een maatregel, welke de strekking heeft om de erfelijke gewoonten onzer voorouders omver te werpen.“
Gelanggang sabung ayam merupakan merupakan adat kebiasaan nenek moyang kami sejak zaman kuno dan adat kebiasaan tersebut sudah kami lakukan terus-menerus dari nenek moyang kami hingga sekarang. Kami bersedia untuk membayar sejumlah uang untuk mempertahankan adat kebiasan nenek moyang agar tidak hilang. Sekarang gelanggang sabung ayam sudah dihentikan sebagai adat kebiasaan kami dari nenek moyang turun temurun dan sudah menjadi ukuran hidup kami.
Siapa saja yang membaca surat Datuk Pamuncak dari Batipuh kepada de Stuers pasti akan tertawa terbahak-bahak. Entah adat nenek moyang yang mana yang diungkit-ungkit oleh Datuk Pamuncak. Mungkin saja adat istiadat nenek moyangnya dari “las vegas” sana. Namun bagi yang jeli membaca situasi masa silam, keningnya pasti akan berkerut memperhatikan kenyataan bahwa Datuk Pamuncak dari Batipuh rela untuk membayar sebanyak 4 rupiah untuk setiap hari gelanggang adu ayam dilakukan dibandingkan dengan nilai keuntungan pajak pasar dan keramaian yang ia raup sebagai penyelenggara judi sabung ayam di Batipuh. Artinya berapa banyak asset rakyat yang harus diundi dalam pertarungan dua ekor ayam demi untuk memenuhkan kocek keuangan Datuk Pamuncak?
Setelah kita sedikit kupas dengan fakta-fakta yang ada selama perang paderi berkecamuk di Minangkabau, jelas tidak ada alasan buat kita untuk mengatakan jika perang paderi yang melibatkan Tuanku Keramat sebagai perang antara kaum adat dan kaum agama. Perang paderi adalah bahagian dari perjuangan rakyat Minangkabau membela haknya untuk bebas berdagang dengan siapa saja yang mereka kehendaki dengan harga yang pantas dan mereka setujui. Tuanku Keramat tidak sudi Belanda yang pongah itu datang untuk mengatur bisnis gambirnya dan juga tidak rela melihat rakyat Minangkabau harus ditindas dengan monopoli dagang yang hanya mendatangkan kesengsaraan buat rakyat. Butir-butir perjanjian yang ia buat dengan de Stuers, menggambarkan kepada kita bahwa perjanjian damai itu semata-mata melindungi rakyat dan para pedagang Minangkabau yang sudah beratus-ratus tahun menjalin hubungan dagang dengan orang asing di Siak dan Penang, bukan ke Padang.
Siapapun Tuanku Keramat yang kita paparkan di sini, beliau adalah profil pejuang yang gigih, berani dan perkasa. Keuletannya dalam berdagang secara jujur membuahkan hasil di mana ia adalah konglomerat gambir di wilayah Lintau, Sumpur Kudus dan Talawi. Kesalehannya dalam menjalankan syariat agama menjadikannya sebagai pemimpin umat yang dihormati, bahkan dianggap keramat sebagaimana gelarnya Tuanku Keramat. Seluruh anak nagari di Minangkabau wajib menjadikan Tuanku Keramat sebagai contoh teladan dimana beliau tidak silau kepada tahta kerajaan. Sepanjang hidupnya, beliau mengabdikan diri untuk bangsa dan tanah airnya dan yang terutama agamanya. Beliau tampil maju ke depan untuk meluruskan kembali akhlak rakyat Minangkabau agar tidak menjadi pemimpin yang korup seperti di Pagaruyung saat itu.
Siapapun yang membaca artikel ini dipersilahkan untuk maju ke depan untuk peduli terhadap situs kesejarahan rakyat Lintau yang ada di Padang Lowe Nagari Tepi Selo. Jika di jaman peri-peri dahulu (PRRI) tampil seorang Komandan APRI meyelamatkan situs sejarah tersebut dengan dana dari koceknya, nah.. sekarang mari kita bersama-sama memulai usaha yang serupa untuk menyelamatkan warisan sejarah di Kecamatan Lintau Buo Utara, yaitu makam Ampu Tuan Saleh Tuanku Keramat, harimau tua dari Lintau yang aumannya memporak-porandakan barisan Kolonel Raff saat menggempur Lintau dan membuat kecut de Stuers untuk menandatangani perjanjian damai tanggal 15 Nopember 1825 di Padang seratus delapan puluh enam tahun yang lalu.
Batam, 26 Oktober 2011
Ricky Syahrul
Ricky Syahrul
No comments:
Post a Comment