Pages

Sunday 19 June 2011

Silek Minangkabau, Etalase Ribuan Filosofi

Silek Minangkabau, Etalase Ribuan Filosofi 

oleh : Fitria Andayani



Minangkabau, silat atau silek tak sekadar sebuah seni bela diri. Lebih dari itu, silek adalah cara untuk berkawan dan pada akhirnya jalan menemukan Tuhan. Silek pun telah meretas jalan dalam torehan sejarah awal berdirinya negeri ini. Kalf" .pertama, silek diperkenalkan oleh Datuk Suri Diraja dari Kerajaan Pariangan di kaki Gunung Merapi pada abad Xl. Sejak itu, silek mulai dipelajari banyak orang, baik itu di Minangkabau hingga Jawa dan Malaysia. Bahkan, di masa Kerajaan Majapahit, silek merupakan ilmu perang untuk memperluas wilayah kekuasaannya. Ini sekaligus mengukuhkan masa keemasan silek di abad ke-16.



Kini, ceritanya berubah. Masa keemasan itu mulai memudar. "Ini karena tak banyak masyarakat Minangkabau terutama generasi muda yang peduli dengan keberadaannya," ujar seorang pendiri Persatuan Aliran Silek dan Seni Tradisi Minangkabau (Pasti Minangkabau), Aris I Sofyan. Saat ini, kata Aris, anak muda lebih tertarik belajar kungfu hingga judo ketimbang silek. Muhammad Ikhsan (19 tahun) adalah satu di antaranya. Mahasiswa ini lebih memilih menekuni tae kwan do daripada belajar silek . 
Minangkabau, seni bela diri khas daerah asalnya. Tak hanya beranggapan seni ini sulit dipelajari, "Setahu saya silek kan bukan hanya soal gerakan fisik, melainkan juga ada unsur ilmu kebatinan dan adat," tuturnya. Bahkan, Wahyudi Lukman (21), seorang atlet silat, sempat beranggapan silek kurang berkelas dibandingkan seni-bela diri dari Cina atau Jepang. "Namun, ternyata setelah saya pelajari, justru silat tak sekuno itu. Unsur olahraganya banyak juga kok," tuturnya. Kendati begitu, dia tetap enggan belajar silat tradisi. "Saya dalami silat prestasi saja."

Silek kian berada di jurang kepunahan lantaran banyak tuo silek (guru silat) yang tidak mewariskan semua ilmu yang mereka miliki pada muridnya sehingga tidak ada penerus yang benar-benar menguasai ilmu tersebut. "Tampaknya mereka trauma dengan pengkhianat," ujar Aris. Mereka takut jika mereka memberikan semua ilmu yang mereka miliki kemudian muridnya itu berkhianat, ia tidak memiliki sesuatu yang lebih untuk membela dirinya. "Hal ini berbeda dengan guru bela diri Jepang yang akan memberikan semua ilmunya bahkan lebih pada muridnya," ujar Aris. Sedangkan tuo-tuo silek hanya akan berbagi delapan dari sepuluh ilmu yang dimilikinya. Inilah yang mencemaskan lantaran hanya sedikit pandeka silek (orang yang pandai bersilat) dan tuo silek (pengajar silat) yang tersisa. "Berdasarkan pendataan yang kami lakukan ke-19 daerah tingkat I dan II di seluruh Sumatra Barat, baru ditemukan sekitar 126 tuo silek yang masih eksis mengajar," tuturnya. Sedangkan dari 160 aliran yang teridentifikasi, baru ada 27 aliran silek yang bertiasil ditemukan. "Sisanya belum tergali dan mungkin sudah punah," ujarnya.

Orang asing

Ironisnya, di tengah krisis kebanggaan masyarakat Minang terhadap silek, orang-orang asing justru giat menggali dan belajar khusus tentang ilmu ini. "Bahkan, dari data jumlah murid semua perguruan silek yang ada di negara lain mencapai lebih dari 20 ribu orang," katanya. Orang-orang asing itu biasanya berasal dari Jerman, Belanda, Prancis, Spanyol, Inggris, dan Austria. Antusiasme mereka besar sekali untuk mempelajari berbagai aliran silek, terutama yang menonjol adalah aliran silek tuo dan silek kumango.

Seperti yang dilakukan ketua persilatan Eropa yang berasal dari Jerman, sang ketua ini,ungkap Aris, tak hanya khusus belajar silek Minangkabau aliran silek tuo, tetapi juga membuat disertasi mengenai aliran silekyangdipelajarinya. Aris merasa, ini mengancam eksistensi silek Minang. "Apalagi . kalau mereka berniat mema-tenkannya, silek Minangkabau akan menjadi milik mereka," tuturnya. Biasanya, mereka mendapatkan ilmu tersebut melalui para pandeka silek yang merantau ke luar negeri. Mereka inilah yang mengajarkan ilmu silek pada orang-orang asing di sana. Ada juga orang asing yang sengaja datang ke daerah Minangkabau hanya untuk belajar silek langsung pada tuo-tuo silek. "Orang asing tersebut dapat dengan mudah memperoleh ilmu silek tanpa biaya," ujar Aris.

Setelah kembali ke negaranya, mereka mengajarkan silek bagi orang-orang di negaranya dengan menentukan tarif. "Setiap kepala biasanya dipatok 30 DM (deutsche mark) per jam, rata-rata latihan dilakukan selama dua jam dan dari satu kali latihan minimal terdapat 20 orang," lanjut Aris. Silek memang mengajarkan para pen-dekarnya untuk selalu memiliki kerendahan hati dan berjiwa bersih. Agaknya, itu pula yang menyebabkan banyak tuo-tuo silek menjadi terlalu tulus dan tidak mengharapkan pamrih saat mengajarkan ilmunya.

Namun, akhirnya kebaikanmereka tak jarang dimanfaatkan oleh orang-orang yang ingin mencari keuntungan. Aris pun menuturkan kisah tentang seorang konglomerat dari Jakarta yang meminta para tuo silek untuk tampil memamerkan ilmunya di Prancis. "Yang namanya orang Indonesia, tentu bangga kalau pergi ke luar negeri," kisah Aris.

Sang konglomerat lalu mengirim para pendekar silat tersebut sampai dua kali. "Sayangnya, selama dua kali tersebut, mereka yang diutus tidak mendapatkan tanda terima kasih yang sepadan," ujar Aris. Mereka hanya diberi Rp 2 juta per orang sesudah tampil padahal keuntungan yang diperoleh oleh konglomerat tersebut sangat besar. Meski kemudian sang konglomerat berjanji untuk memberikan bantuan dana agar silat tradisi ini bisa berkembang, kenyataannya sampai sekarang tidak ada janji yang ditepati.

Kisah itu tak berhenti di sana. Ada pula seorang tuo silek dari Desa Gunuang, Padang Panjang, bernama Inyiak Upiak Palatiang. Dia adalah seorang perempuan tuo silek yang berusia lebih dari 100 tahun. Berkat publikasi di koran lokal, dia terkenal dan makin banyak orang-orang yang datang padanya untuk berguru. "Dan, lagi-lagi dari orang yang berguru padanya itu, dia tidak dapat apa-apa," papar Aris.

Upaya pelestarian

Bagi para pesilek, ilmu silek menyimpan filosofi mendalam. Saking indahnya, Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Sumatra Barat berencana untuk menghadirkan fakultas silat tradisi di kampus mereka. Di luar itu, silek pun menyimpan potensi wisata. "Seni bela diri selalu menarik perhatian orang," kata Aris. Dulu, sempat diadakan uji ketangguhan di antara seni bela diri yang lain. Ternyata, silek Minangkabau mampu bersaing bahkan mengalahkan keampuhan seni bela diri yang lain. Meski punya potensi, rupanya usaha pelestarian silek kerap terkendala dana. Tak banyak orang berduit yang mau memberikan sponsor atau donor untuk pembinaan silek. Ini karena silek Minangkabau sudah kurang diminati bahkan oleh masyarakat Minang sendiri. Alhasil, para penyandang dana enggan untuk menginvestasikan uangnya.

Namun, harapan tak pernah pupus. Tim Pasti Minangkabau berusaha giat mendata aliran silek Minangkabau. "Kami akan terus mendata hingga setidaknya kami menemukan lebih dari 50 persen aliran silek Minangkabau," tutur Aris. Mereka juga berusaha mempertemukan guru silek Minangkabau dengan guru silat Jawa sehingga mereka bisa saling mengisi.

Setelah itu, mereka akan memfasilitasi pertemuan an-tara tuo-tuo silek di seluruh Minangkabau. Kegiatan ini pernah diadakan pada 14 Desember 2003 di Bukittinggi. "Rencananya akan kami rutinkan kembali," lanjut Aris. Selain itu, bekerja sama dengan pemerintah daerah, Pasti Minangkabau pun siap mengadakan Festival Silek Minangkabau yang diadakan setiap tahun. Pasti juga melakukan pendekatan dan sejumlah kerja sama dengan Ikatan Pencak Silat Indonesia (IPSI).

"Salah satunya, agar mereka mau bekerja sama dengan Departemen Pendidikan Nasional sehingga silek bisa masuk sebagai mata pelajaran di sekolah-sekolah," tuturnya. Silek mungkin saja sebuah tradisi masa lalu. Namun, di dalamnya, kita bisa meresapi kearifan dan filosofi tentang hidup. Selain itu, silek adalah etalase ribuan filosofi yang menyatu dengan alam dan Tuhan.

sumber : http://bataviase.co.id/node/440624

No comments:

Post a Comment